Minggu, 25 Mei 2014

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kata demokrasi adalah kata yang populer pada abad 21 ini (arif: 2003). Demokrai merupakan sebuah idiologi yang digunakan pada sistem pemerintahan dan beragam kehidupan negara, tidak terkecuali pada kehidupan pribadi. Demokrasi mampu merasuk dan menanamkan pada kepribadian. Secara tidak langsung negara mampu memberikan pengaruhnya kepada tingkah laku warganya. Kenyataan ini sering kali disebut oleh para ahli sebagai kontrol negara. Kemampuan negara untuk ikut campur dan mengatur tingkah laku warga negaranya digunakan untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan. Keinginan yang melekat dan sebagai arah pembangunan bangsa dsebut sebagai kehidupan yang sejahtera. Ada pun pemamaknaan mengenai kesejahteraan memberikan pemahaman yang luas. Hal ini tidak saja menyangkut sendi-sendi materiil. Tetapi menyangkut kepuasaan lahir dan batin. Sedangkan sebagai bentuk konkrit atas lahir dan batin ini seringkali mendapatkan perhatian dan partisipasi masyarakat. Publiklah yang akan menilai proporsi dan komposisi diantara perpaduan nilai-nilai materiil dan non materiil. Melalui serangkaian sistem demokrasi yang terbangun tidak saja pemerintah memegang kendali atas nasib negara. Akan tetapi rakyat turut serta andil alih.

Pada dunia ketiga banyak negara yang memilih demokrasi sebagai pilihan tatanegaranya. Demokrasi dianggap mampu memberikan kepuasaan dan menjaga stabilitas negaranya. Walaupun tidak dapat dipungkiri sistem demokrasi melalui prosedur yang berbelit-belit bila dibandingkan dengan sistem-sistem idiologi lainnya. Seperti halnya sistem fasisme dengan bentuk pengambilan keputusan yang bersifat cepat atau bersifat top down. Seorang pemimpinlah sebagai pihak yang jelas mengambil keputusan. Segala pertimbangan dan tanggung jawab berada dibawah kendali sang pemimpin. Bahkan simbol atas negara adalah sang pemimpin itu sendiri. Secara tidak langsung pemimpin adalah subjek dari arah pemerintahan. Sedangkan rakyat adalah objek yang dikendalikan sang pemimpin. Pada kasus ini dapat dikatakan “ dari pemimpin, oleh pemimpin dan untuk negara “. (Ranadireksa: 2007). Penjelasan negara disini mengandung pemahaman yang beraneka ragam atau disebut tidak jelas. Tidak ada pembatasan antara kepentingan individu sang pemimpin dengan kepentingan rakyat.

Disisi yang berbeda terdapat idiologi komunisme. Dalam sistem komunisme mengatasnamakan rakyat dengan kriteria kelas yang berkuasa untuk kepentingan kelas yang tertindas. Dan negara harus adalah bentuk dari kelas ploretariat. Ploretariat adalah para pekerja kasar yang menjadi korban dari para golongan elit atau disebut borjuis. Tidak saja memiliki modal yang lebih untuk menguasai faktor-faktor produksi, akan tetapi para elit dapat dimaknai sebagai negara yang membela dan melanggengkan penderitaan kelas ploretar.

Bentuk negara yang didasarkan idiologi komunis ini menunjukkan adanya tampang keras. Tujuannya tidak lain untuk melindungi rakyat itu sendiri dari korban kapitalisme. Seperti halnya di Rusia pada era Lenin negara berfungsi sebagai alat penekan rakyat. Alasan utamanya untuk menjaga stabilitas dan menjadikan terjaganya sistem negara komunisme. Kediktatoran negara pada era komunisme ini telah mengambil tumbal akan warga negaranya dengan jumlah jutaan.

Baik idiologi fasisme maupun idiologi komunisme pada akhirnya kurang mendapat tempat bagi warga dunia ketiga. Baik ditinjau dari pengalaman sejarah maupun akademis, demokrasi telah berkembang sedemikian hebat. Didasarkan sejarah perang dingin; blok barat yang dikenal dengan kapitalis maupun pro demokrasi mampu menunjukkan adi kuasanya. Sedangkan nilai-nilai demokrasi telah berkembang sebagai proyek raksasa yang menjamur diberbagai negara. Bahkan tidak dapat disangkal bahwa idiologi demokrasi sebagai keharusan yang tidak dapat ditolak (arif: 2003). Banyak negara yang berjuang dengan pembangunannya justru hancur dikarenakan menolak kehadiran demokrasi pada tatanan modern ini. Demokrasi tidak saja mencakup sistem dalam suatu negara, akan tetapi demokrasi mencakup pula sebuah sistem demokrasi antara negara yang satu dengan yang lainnya. Secara tidak langsung demokrasi sebagai jalan menuju globalisasi baru.

Pada praktinya, negara demokrasi sebagai negara yang dipahami secara normatif sebagai hasil representasi rakyat ini tidak mutlak menyajikan banyak kepuasaan diantara warganya. Demokrasi dengan korelasi globalisasi; keterbukaan, transparansi, partisipasi, good governance dan lain sebagainya tidak jarang menghadirkan bencana. Banyaknya partsipasi masyarakat maupun kelompok kepentingan menjadikan proses demokrasi secara intern banyak ditumpangi beragam kepentingan. Negara cenderung menyajikan kepentingan para penanam modal. Negara sebagai fasilitator menyajikan sebuah lahan yang bagus untuk dikunjungi dan diekspoitasi.Dikatan oleh Hertz melalui kutipan opini (kompas,3/3/2002) bahwa dalam hippotesanya globalisasi menjadikan leyapnya negara. Melalui demokrasi yang mencakup bidang ekonomi akan menjadikannya matinya demokrasi itu sendiri. Kepala negara berserta jajaran justru menjual hakekat penugasannya atas cita-cita suatu bangsanya. Semua demi kepentingan pembangunan yaitu ekonomi. Akan tetapi tanpa sadar mengabadikan kepentingan negara untuk mempermudah penguasaan para pemodal.

Tidak saja pada lingkup internal negara, globalisasi berkembang membentuk sebuah jaringan antar negara. Dalam sistem jaringan tersebut membentuk jaringan sang penguasa modal hingga sebagai korban konsirasi internasional. Dijelaskan oleh Aminuddin (2009) globalisasi melahirkan adanya ketergantungan diantara negara-negara yang sedang berkembang. Hal teresebut terjalin melalui serangkaian kerjasama dan beragam kegiatan bantuan. Hingga kejahatan tingkat tinggi yang terbentuk terdapat pembagian negara pusat sebagai otak pelaku utama. Negara pusat memberikan bantuan kepada negara-negara pinggiran atau negara berkembang. Akan tetapi bantuan dengan maksud kredit tersebut didistribusikan melalui nerga quasi central dan semi pinggiran. Tujuannya untuk menempatkan para borjuis tersebut pada posisi aman bahaya resiko kredit. Sistem inilah yang menjadikan negara pinggiran sebagai negara yang terjebak dalam lingkaran ketergantungan dan pada kesejahteraan yang tidak memuaskan. Kemerdekaan cenderung bersifat semu.

Melihat kenyataan tersebut demokrasi dengan beragam dasar-dasar nilainya perlu dipertanyakan untuk menjawab tujuan awal dari kesejahteraan rakyat. Idiologi ini tampaknya menjadi propaganda atas tujuan kelompok tertentu. Demokrasi mengundang banyak pertanyaan kelangsungan kehidupan manusia.

B. Rumusan masalah
1. Apa akar permasalahan dalam konsep demokrasi?
2. Siapa yang paling dirugika dengan sistem demokrasi?
3. Masihkan demokrasi diperlukan dalam kehidupan negara?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui akar permasalahan dalam konsep demokrasi.
2. Mengetahui pihak-pihak yang paling dirugikan dengan praktik demokrasi.
3. Mempertanyakan eksistensi demokrasi


BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A. Mala Petaka Dalam Demokrasi

Sebelum mengkritik dan mengkaji demokrasi hendaknya terlebih dahulu kita mengenal demokrasi. Termasuk nilai-nilai dasar demokrasi dan karakter yang mendarah daging. Menurut Hendarman Ranadireksa (2007), idiologi demokrasi memiliki nilai-nilai: bottom up& transparansi, pemerintahan ramping dan desentralistik, akuntabilitas publik, kepemimpinan teruji, budaya kritik dan budaya bersaing. Artinya idiologi demokrasi adalah wujud dari representasi kepentingan rakyat. Negara sebagai penyelenggara berfungsi memfasilitasi kepentingan rakyat, baik melibatkan partai politik maupun kelompok kepentingan dalam sistem kenegaraannya. Berkonsekuensi mengemban aspirasi rakyat, penyelenggaraan pemerintahan memegang asas keterbukaan/transparansi. Warga negara berhak mengetahui segala mekanisme maupun permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Melalui ruang publik, kepentingan pemerintah dan rakyat dapat terjalin dengan baik. Diantara keduanya saling menghasilkan kontrol.

Pada aspek pemerintahan ramping dan desentralistik menjelaskan bahwa ototritas pemerintah pusat tidak dimaksudkan menguasai masyarakat maupun lembaga negara yang ada dibawahnya. Bentuk pemerintahan tidak semata terstruktural vertikal, akan tetapi memberikan ruang secara horisontal. Otoritas pemerintah pusat tidak absolut menguasai, tetapi membagi kekuasaan dan saling mengormati. Sedangkan fungsi pemerintahan pusat tidak lain sebagai hasil akhir aspirasi lembaga pemerintah dibawahnya. Wujud dari horisontal adalah adanya desentralisasi. Wujud manajemen seperti ini tidak saja memberikan banyak keuntungan bagi pemerintah pusat; penyelenggaraan pemerintahan tidak bergantung kepada pusat dan berjalan lebih efektif. Sedangkan otoritas pemerintahan daerah memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan yang dipahami masyarakat yang bersangkutan. Ditinjau dari segi ekonomi, pemerintahan ini banyak menghemat pembengkakan dana untuk membayar pegawai. Hal ini ditinjau memberikan ruang bagi pelaku ekonomi.
Akuntabilitas Publik menjelaskan keberadaan dana negara berasal dari pajak rakyat. Segala administrasi yang dijalankan oleh pemerintah eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun militer harus dapat dipertanggung jawabkan kepada publik. Sebagai tanggung jawab norma sosial, legislatif sebagai wujud aspirasi rakyat memiliki wewenang akuntan publik untuk melakukan verivikasi laporan kinerja pemerintahan. Legislatif selaku parlemen memiliki wewenang yang telah diatur dalam konstitusi untuk menghindari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sehat.

Nilai kepemimpinan yang teruji adalah hasil dari keinginan rakyat, terdapat legimasi bagi rakyat untuk memilihh seorang pemimpin tanpa membedakan adanya perbedaan etnis, golongan, agama, kaya-miskin. Dasar nilai yang dipahami adalah persamaan atas setiap derajat manusia. Setiap manusia memiliki hak dan kesempatan yang sama sebagai hakikat dari kemanusiaan. Akan tetapi yang membedakan seseorang untuk mendapat legitimasi dari publik adalah kemampuannya. Masyarakat memiliki kriteria tesendiri untuk memilih seseorang menjadi pimpinan yang diinginkan. Proses pemilihan melalui pesta demokrasi atau disebut pemilihan umum (pemilu). Pemilu menghargai kebebasan individu untuk memilih seorang kandidat sesuai dengan hati nuraninya tanpa adanya paksaan yang menimbulkan nestapa. Budaya kritik adalah nilai yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi. Adanya pro dan kontra dalam masyarakat memunculkan gagasan atas memperjuangkan kebenaran sesuai dengan kehendaknya. Terjadilah dialektika untuk membangun tawar-menawar. Budaya kritik ini muncul didasarkan kebebasan setiap individu untuk menyampaikan dan menjelajahi alam gagasan secara lisan maupun tertulis. Menurut penulis, dampak positif yang dihasilkan adalah berkembangnya partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam pembangunan.Tidak saja berhenti disini, kreatifitas dapat pula membangun persatuan. Karena tawar-menawar dalam demokrasi menghasilkan budaya kesepakatan. Sedangkan bila ditinjau kembali menurut Ranadireksa, dari segi ekonomi budaya kritik memberkan kontribusi yang besar bagi perkembangan ekonomi. Perbandingan antara negara yang memelihara budaya kritik dan negara ang menutup kebebasan akan kreatifitas masyarakatnya menhasilkan perbedaan yang nampak. Negara yang mengadopsi budaya kritik, mengalami kemajuan lebih besar dibandingkan negara yang berhaluan sebaliknya.

Nilai terakhir yang perlu diperhatiakan adalah budaya bersaing. Didasarkan adanya persamaan, setiap individu berusaha memperebutkan sebah keyakinan. Keyakinan dapat mencakup siapa yang berhak memegang kekuasaan dalam negara. Siapa yang berhak memegang kekuasaan tidak lain harus dari rakyat itu sendiri. Seseorang untuk memenangkang persaingan harus mampu menghasilkan kesejahteraan bagi negara dan rakyat. Persaingan pun harus tetap berjalan dengan sehat, menghargai keberadaan pihak yang menang. Budaya persaingan tampaknya memiliki korelasi yang kuat dalam hal ekonomi. Budaya persaingan memacu semangat swasta dan wirasta. Kondisi yang demikian tidak saja membantu pemerintah dalam pembangunan, akan tetapi masyarakat dapat bekerja secara mandiri.
Melihat serangkaian gagasan yang telah diuraikan diatas memberikan gambaran indah hidup ala demokrasi. Gagasan-gagasan tersebut memilihi harapan yang tinggi utuk membangun keejahteraan bagi umat manusia. Dibalik keindahan retorika nilai-nilai demokrasi terdapat pula permasalahan sosial yang terus berkembang. Akan tetapi hal utama yang perlu dikaji adalah gagasan awal dari permasalahan ini.

Bila kita meninjau kembali nilai-nilai demokrasi yang telah dikemukakan oleh Ranadireksa tidak lepas dari adanya nilai-nilai kebebasan dan persamaan. Kedua nilai inilah yang terus berkembang menjadi beragam gagasan diantara sistem negara. Tanpa disadari keindahan nilai tersebut turut serta menghadirkan beragam permasalahan.

Ditegaskan oleh Arif (2003) dalam kajiannya tentang praktik demokrasi, bahwa eksistensi persamaan dalam demokrasi mendapat tantangan besar untuk tetap diterima secara moral. Tanggung jawab moral dapat diuji ketika keberadaan seseorang dihadapkan dengan kekuasaan, wewenang dan status sosial. Bila dimulai dari kesepakatan manusia yang didasarkan atas persamaan, semuanya telah berubah ketika seseorang mendapatkan legitimasi dari banyak kalangan untuk memiliki jabatan. Sebagai konsekuensinya, kepercayaan yang diberikan bukanlah sebatas sistem pemerintahan yang melayani kehendak rakyat secara mutlak. Akan tetapi kewenangan diikuti oleh kepercayaan seorang pemimpin untuk membawa nasib sekian banyak masyarakat yang telah melegitimasinya.

Bila ditinjau dari kekuasaan, otoritas adalah kekuasaan yang dilegalkan. Seseorang yang memiliki ototritas memiliki kemampuan lebih mengatur tingkah laku manusia lainnya. Tentunya kemampuan ini tidak dapat disamakan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Bahkan menurut Norzick (1964); hal yang menentukan keberhasilan dari banyaknya persamaan manusia pada idiologi liberal adalah kemampuan seseorang yang bersangkutan itu sendiri. Pada tataran demokrasi yang telah diuraikan pada pembahasan diatas menjelaskan pentingnya nilai persaingan. Artinya disini persamaan cenderung sebagai normatif. Dalam praktiknya, hanya segelintir orang saja yang mampu mendapatkan nilai lebih dibanding manusia lainnya. Bahkan telah dijelaskan oleh Aminuddin (2009) secara tidak langsung bahwa dalam masyarakat yang telah menganut nilai-nilai persamaan, tidak lepas dari adanya stratifikasi sosial, khususnya dalam permasalahan ekonomi. Hal ini menunjukkan nilai-nilai persamaan justru menjadikan fatamorgana bagi impian yang sebatas lamunan. Persamaan tidak pernah ada dimasyarakat.
Dijelaskan oleh Adolf Hitler (2008) bahwa kehidupan bernegara harus dikendalikan oleh seseorang yang terkuat. Orang inilah sebagai seseorang yang layak untuk memimpin negara dengan legitimasi yang sah. Artinya seseorang yang memiliki kekuasaan terkuat harus menjadi pemimpin negara. Sedangkan seseorang yang tidak mutlak sebagai orang terkuat, tidak layak untuk menjadi pemimpin negara. Ada pun pernyataan tersebut bersebrangan dengan kenyataan demokrasi. Negara demokrasi dijalaskan oleh Ham dan Hill (1984) dalam teorinya pengaitan dijalankan atas tawar menawar kekuasaan dibalik kepentingan aktor-aktor politikus. Hal ini menandakan antara pihak yang satu dengan yang lainnya tidak bersifat struktural seperti yang telah dikehendaki oleh Hitler, akan tetapi seseorang dalam kemitraan yang bersifat kontrak. Maka tidak menuntut kemungkinan dalam tawar menawar ini terjadi permasalahan di kelak hari. Permasalahan yang terjadi tidak terbatas pada tataran hubungan pribadi. Permasalahan ini menyiasakan pada hubungan aparat negara. Kekacauan kepentingan diantara para politikusnya, turut serta mempengaruhi administrasi negara. Kondisi yang demikian inilah yang menjadikan kekacauan yang cenderung bersifat informal. Tidak lain, hal ini disebabkan oleh persamaan dan ketidak jelasan struktural kekuasaan yang dilegitimasi oleh negara.

Defisi negara menurut Roger H. Soltau (Budiardja: 2000) “Negara adalah alat atau wewenanang bersama, atas nama masyarakat”. Artinya negara adalah hasil dari kehendak rakyat. Negara menjalankan keinginan-keinginan rakyat melalui proses kebijakan. Menurut Westergaaed, J. dan H. Resler (1976:143) “… kapitalis membuat keputusan. … keputusan (negara) dibuat mereka-termasuk oleh pemerintah … ). Maksud dari pernyataan ini adalah para kaum elit atau orang berkuasa yang tidak memiliki wewenang memiliki pengaruh yang besar dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Seperti halnya politik dagang sapi yang telah dijelaskan Ham dan Hill (1984) bahwa terjadi tindak tawar menawar. Keberadaan seorang aspirator rakyat memiliki peluang yang besar untuk mengganti aspirasi kapitalis.
Jadi dapat disimpulkan bahwa persamaan dan kebebasan demokrasi berdampak persaingan dan membentuk sistem yang justru didomonasi oleh kelas yang berkuasa/ pihak-pihak yang memiliki nilai lebih untuk melakukan akses.


BAB III
PEMBAHASAN


A. Akar Permasalahan Dalam Konsep Demokrasi
1) Mengetahui penjabaran konsep demokrasi.

2) nilai-nilai persamaan, kerakyatan dan kebebasan sebagai sumber masalah→ berdampak pada lemahnya peran negara.→Dengan demikian terdapat pihak-pihak yang mengatasnamakan rakyat dalam mengambil keputusan.→ dari banyaknya pihak yang bersuara mengakibatkan ketidak jelasan arah penyelesaian permasalahan sosial dan pihak yang bertanggungjawab.(ex;kebudaaan populer mampu mempengaruhi pemerintah dalam mengambil kebijakan).

B. Potensi Dampak Praktik Demokrasi

1) Keberadaan demokrasi dengan konsep suara rakyat menandakan rakyat yang berkehendak(tetapi hanya sebagian kecil rakyat yang mampu menjadi elit). →Secara tidak langsung terdapat potensi liberalisme dan praktik kapitalisme.→ Muncullah globalisasi → Dan disusul beragam permasalahan yang komplek.

2) Dengan demokian pihak yang sebenarnya dirugikan pada dasarnya adalah rakyat itu sendiri. Rakyat hanya sebagai topeng dibalik kekuasaan elit.

C. Eksistensi Demokrasi

1) Negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab pada kehidupan rakyatnya. Konsep negara dengan raut demokrasi menunjukkan ketidak jelasan negara itu sendiri. Banyak pihak yang mampu mengatasnamakan diri sebagai tugas negara.

2) Dibutuhkan pengambilan keputusan yang efektif, keteraturan hukum yang tegas dan para penguasa yang memiliki wewenang formal.


DAFTAR PUSTAKA


Saiful Arif (kompas,3/5/2013)

Arif, Saiful. 2003. Ilusi Demokrasi. Depok: Desantara.

Ranadireksa, Hendarmin. 2007. Arsitektur Konstitusi Demokrasi. Bandung: Fokus Media.

Aminuddin, M. Faishal, et al. 2009. Demokrasi dan Neoliberalisme: Pengaruh Dan Dampaknya Bagi Demokratisasi. Yogyakarta: Logung Pustaka.

Norzick, Robert.1964.Anarchy, State and Utopia.Oxford:BlackWell

Hitler, Adolf, 2008. Mein Kamf. Diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi dan Sekar Palupi. Yogyakarta: Narasi.

Ham, C. and M. Hill., 1984. The Policy Process in the Modren Capitalist State, Harvester Wheatsheaf. Sussex: Brighton.

Budiardjo, Miriam, 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Westergaaed, J. dan H. Resler, 1976. Class in A Capitalist Society. Penguin: Harmondswort Middx.

0 komentar:

Posting Komentar